Kamis, 01 April 2010

Day 1

Ku mulai pagi ni dengan bersiap untuk pergi menemui teman-teman yang sangat special.
Pagi yang dingin membuatku malas beranjak dari pantai busa yang nyaman ini. Ku buka pelapis kulitku, membuka pintu dan berjalan menyusuri lorong-lorong bercahayakan biru pagi dengan semburat warna mentari. Ku selesaikan membasuh diri dan kukenakan anyaman rapi benang-benang yang telah ku pilih sebelumnya.

Menawan, ku bilang.

Pagutanku terjaga oleh deru suara mesin yang akan menghantarkanku menemui teman-teman special pagi ini, ku berlari dan tak lupa ku kenakan alas kaki yang sudah sekitar 6 tahun menemani hariku.

Pagi ini indah, pikirku.

Deretan orang sudah berjajar rapi menunggu surat kecil pengantar pergi, kami, aku dan seorang teman, pun larut di dalamnya. Perlahan merangsek ke depan ditemani bau yang selama ini ku benci, tapi pagi itu harus menggelitik hidungku, lekat.

Berhasil, kataku.

Bertemu pagar besi yang ramah tapi tetap Nampak elegan. Kusodorkan surat itu dan temanku menemani. Masuklah kami menunggu denting suara khas yang akan sering kami temui nantinya di hari yang sama dengan sekarang.

Satu, dua, dan beberapa menit berlalu, akhirnya dentingan itu berbunyi, menandakan surat kecil kami akan segera mempunyai arti.

Kuda besi, kulihat.

Surat-surat lain bertebaran, berganti surat-surat baru yang segera akan mempunyai arti seperti halnya perjalananku pagi ini. Tetapi cemas melandaku, tiga surat ini tak akan berarti tanpa hadirnya satu temanku lagi.

Denting silih berganti berbunyi dan sampai pada dentingan untuk kuda besiku, tapi dimanakah dia? Kami cemas menunggu, mengelus halus badan kuda besi ini untuk sabar menunggu, tak datang, tak berkabar, tak kunjung terlihat, cemas.

Dia akan datang yakinku.

Intuisiku tepat.

Akhirnya, kuda ini berlari menyusuri deretan vegetasi yang menakjubkan. Deretan pohon-pohon kelapa diterjang angin, melambai anggun seolah tahu begitu berartinya perjalanan ini bagiku, bagi kami.

Satu, setengah, dua … kuda besi telah sampai menghantarkanku menemui deretan besi-besi panjang entah dimana akan berakhir. Ku lalui dua diantara mereka.

Lega, batinku.

Entah dimana negri ini, tapi aku mulai mengukainya, ramah dan bersahabat.

Sampaikah kita, tanyaku.

Tanyaku belum terpuaskan, dua buah kreativitas menyambut kami. Ku naiki dengan tak sabar ingin merasakan sensasinya. Ya, mesin itu telah dipasang untuk mempermudah dan meringankan kerjanya, tak perlu lagi mengayuh, cukup dengan mengatur setir tempat duduk tiga roda ini berlari menyusuri jalan-jalan di negri yang mulai ku sukai ini. Berjalan, berputar, naik, turun, bertanya dan menemukan.

Sampai. Aku kembali bertemu dengan besi-besi panjang tapi kali ini penuh penjagaan. Merinding.

Aku ingin tahu.

Kami beranikan untuk masuk dan bertanya. Satu, dua, lima menit kami menunggu, dan aku tak ingin lebih lama lagi. Pintu kayu yang mengentuh atap itupun terbuka, setelah sebelumnya sepasang mata mengintip dari celah-celah jeruji yang juga hanya bisa untuk melihat sapasang mata yang mencarinya. Tertegun aku dibuatnya.

Masuk, batinku.

Kiri dan kananku tembok-tembok tinggi, ngeri, tapi kami punya lagi surat untuk mengaksesnya. Di keluarkanlah surat itu dari dompet salah satu temanku. Aha, kami berhasil menembusnya.

Jauh semakin dalam, semakin aku dibuat miris oleh keadaan ini. Besi-besi panjang itu semakin berjajar rapat, massif, dan sempit bercelah. Kunamai dia jeruji.
Jeruji apa yang kau jaga disini, tanyaku, kali ini dalam hati. Tak pernahkah kau lelah? Dan tak pernahkah kau merasa iba?, ku perpanjang tanyaku. Ku lihat kau begitu murka atas apa yang kau jaga di dalamnya. ku amati kau begitu tersayat atas apa yang menyentuhmu setiap hari. Ataukah malah kau merasa bangga atas tugasmu di sini? Aku belum menemukan apa yang kau rasa tapi aku, kami, ingin sekali mengenal apa yang kau jaga, apa yang menyentuhmu, dan apa yang membuatmu berada dan terjajar rapi di sini. Hingga bisa mengartikan apa yang kau rasa selama ini. Kecamuk ini menggelitikku untuk bertanya.
------------
Bisakah kami mengenal mereka lebih jauh? Menjadi teman berbagi cerita hari ini dan masa depan? Teman pengurang dahaga kerinduan akan udara? Teman tertawa di saat tak kuasa membendung rindu? Sahabat berbagi penawar murka dan angkara?
Kami pun ingin belajar dari mereka. Menyimak cerita kehidupan. Berbagi ilmu keteladanan. Mengisi kekosongan. Membenarkan yang salah dan menguatkan yang telah benar. Menyuarakan kegembiraan.

Mungkinkah itu? Kami ingin bersama mereka, di sela waktu kami dan mereka?
Getir.
Iba.
Tertahan.
-----------
Ketulusan.
-----------
Kuda besi kembali berlari sekuat tenaga membawa kami kembali nyata. Bertemu lagi vegetasi yang baru ku temui tadi pagi, menenami, tersenyum, dan menghantarkan kami pulang.

Denting itu berbunyi dan surat-surat kecil pengantar perjalanan kembali berhamburan. Aku tiba.

Ku nikmati dan ku resapi. Awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan memberikan arti tersendiri bagi kami, terutama bagiku.

Kami telah bertemu mereka, teman-teman kecilku yang special.
Hidup kalian masih panjang, ijinkan aku, kami ikut bersama menikmati setiap langkah kalian teman, karena kalian berarti.

ya, karena kalian berarti.

Lapas Anak Kutoarjo
6 Maret 2010.

1 komentar:

neno mengatakan...

ma, pointnya belum kena...padahal aku pengen denger cerita anak umur 12 tahun yang harus hidup di penjara sampe umur 18 tahun karena curi uang 20rb rupiah :D....

Posting Komentar

Day 1

Ku mulai pagi ni dengan bersiap untuk pergi menemui teman-teman yang sangat special.
Pagi yang dingin membuatku malas beranjak dari pantai busa yang nyaman ini. Ku buka pelapis kulitku, membuka pintu dan berjalan menyusuri lorong-lorong bercahayakan biru pagi dengan semburat warna mentari. Ku selesaikan membasuh diri dan kukenakan anyaman rapi benang-benang yang telah ku pilih sebelumnya.

Menawan, ku bilang.

Pagutanku terjaga oleh deru suara mesin yang akan menghantarkanku menemui teman-teman special pagi ini, ku berlari dan tak lupa ku kenakan alas kaki yang sudah sekitar 6 tahun menemani hariku.

Pagi ini indah, pikirku.

Deretan orang sudah berjajar rapi menunggu surat kecil pengantar pergi, kami, aku dan seorang teman, pun larut di dalamnya. Perlahan merangsek ke depan ditemani bau yang selama ini ku benci, tapi pagi itu harus menggelitik hidungku, lekat.

Berhasil, kataku.

Bertemu pagar besi yang ramah tapi tetap Nampak elegan. Kusodorkan surat itu dan temanku menemani. Masuklah kami menunggu denting suara khas yang akan sering kami temui nantinya di hari yang sama dengan sekarang.

Satu, dua, dan beberapa menit berlalu, akhirnya dentingan itu berbunyi, menandakan surat kecil kami akan segera mempunyai arti.

Kuda besi, kulihat.

Surat-surat lain bertebaran, berganti surat-surat baru yang segera akan mempunyai arti seperti halnya perjalananku pagi ini. Tetapi cemas melandaku, tiga surat ini tak akan berarti tanpa hadirnya satu temanku lagi.

Denting silih berganti berbunyi dan sampai pada dentingan untuk kuda besiku, tapi dimanakah dia? Kami cemas menunggu, mengelus halus badan kuda besi ini untuk sabar menunggu, tak datang, tak berkabar, tak kunjung terlihat, cemas.

Dia akan datang yakinku.

Intuisiku tepat.

Akhirnya, kuda ini berlari menyusuri deretan vegetasi yang menakjubkan. Deretan pohon-pohon kelapa diterjang angin, melambai anggun seolah tahu begitu berartinya perjalanan ini bagiku, bagi kami.

Satu, setengah, dua … kuda besi telah sampai menghantarkanku menemui deretan besi-besi panjang entah dimana akan berakhir. Ku lalui dua diantara mereka.

Lega, batinku.

Entah dimana negri ini, tapi aku mulai mengukainya, ramah dan bersahabat.

Sampaikah kita, tanyaku.

Tanyaku belum terpuaskan, dua buah kreativitas menyambut kami. Ku naiki dengan tak sabar ingin merasakan sensasinya. Ya, mesin itu telah dipasang untuk mempermudah dan meringankan kerjanya, tak perlu lagi mengayuh, cukup dengan mengatur setir tempat duduk tiga roda ini berlari menyusuri jalan-jalan di negri yang mulai ku sukai ini. Berjalan, berputar, naik, turun, bertanya dan menemukan.

Sampai. Aku kembali bertemu dengan besi-besi panjang tapi kali ini penuh penjagaan. Merinding.

Aku ingin tahu.

Kami beranikan untuk masuk dan bertanya. Satu, dua, lima menit kami menunggu, dan aku tak ingin lebih lama lagi. Pintu kayu yang mengentuh atap itupun terbuka, setelah sebelumnya sepasang mata mengintip dari celah-celah jeruji yang juga hanya bisa untuk melihat sapasang mata yang mencarinya. Tertegun aku dibuatnya.

Masuk, batinku.

Kiri dan kananku tembok-tembok tinggi, ngeri, tapi kami punya lagi surat untuk mengaksesnya. Di keluarkanlah surat itu dari dompet salah satu temanku. Aha, kami berhasil menembusnya.

Jauh semakin dalam, semakin aku dibuat miris oleh keadaan ini. Besi-besi panjang itu semakin berjajar rapat, massif, dan sempit bercelah. Kunamai dia jeruji.
Jeruji apa yang kau jaga disini, tanyaku, kali ini dalam hati. Tak pernahkah kau lelah? Dan tak pernahkah kau merasa iba?, ku perpanjang tanyaku. Ku lihat kau begitu murka atas apa yang kau jaga di dalamnya. ku amati kau begitu tersayat atas apa yang menyentuhmu setiap hari. Ataukah malah kau merasa bangga atas tugasmu di sini? Aku belum menemukan apa yang kau rasa tapi aku, kami, ingin sekali mengenal apa yang kau jaga, apa yang menyentuhmu, dan apa yang membuatmu berada dan terjajar rapi di sini. Hingga bisa mengartikan apa yang kau rasa selama ini. Kecamuk ini menggelitikku untuk bertanya.
------------
Bisakah kami mengenal mereka lebih jauh? Menjadi teman berbagi cerita hari ini dan masa depan? Teman pengurang dahaga kerinduan akan udara? Teman tertawa di saat tak kuasa membendung rindu? Sahabat berbagi penawar murka dan angkara?
Kami pun ingin belajar dari mereka. Menyimak cerita kehidupan. Berbagi ilmu keteladanan. Mengisi kekosongan. Membenarkan yang salah dan menguatkan yang telah benar. Menyuarakan kegembiraan.

Mungkinkah itu? Kami ingin bersama mereka, di sela waktu kami dan mereka?
Getir.
Iba.
Tertahan.
-----------
Ketulusan.
-----------
Kuda besi kembali berlari sekuat tenaga membawa kami kembali nyata. Bertemu lagi vegetasi yang baru ku temui tadi pagi, menenami, tersenyum, dan menghantarkan kami pulang.

Denting itu berbunyi dan surat-surat kecil pengantar perjalanan kembali berhamburan. Aku tiba.

Ku nikmati dan ku resapi. Awal dari sebuah perjalanan panjang yang akan memberikan arti tersendiri bagi kami, terutama bagiku.

Kami telah bertemu mereka, teman-teman kecilku yang special.
Hidup kalian masih panjang, ijinkan aku, kami ikut bersama menikmati setiap langkah kalian teman, karena kalian berarti.

ya, karena kalian berarti.

Lapas Anak Kutoarjo
6 Maret 2010.

1 komentar:

neno mengatakan...

ma, pointnya belum kena...padahal aku pengen denger cerita anak umur 12 tahun yang harus hidup di penjara sampe umur 18 tahun karena curi uang 20rb rupiah :D....

Posting Komentar

Daisypath Anniversary tickers

Feed my Fish!