Jumat, 30 April 2010

Kutoarjo (2)

Saya ingin berbagi cerita tentang perjalanan kedua saya mengunjungi teman-teman kecil saya di suatu tempat yang bagi saya juga sangat special. Ya, hari ini saya dan lagi-lagi dengan teman saya, yang kali ini kami hanya berdua kembali menempuh melewati sepasang jajaran besi panjang untuk sekadar berolahraga.
Awalnya tidak ada pikiran khususnya menempuh perjalanan panjang hanya untuk berolahraga, tapi memang begitu kenyataannya.
Setelah kembali saya ditemani surat kecil pengantar kami pergi yang nantinya akan berhamburan di tempat kami tuju dan deretan vegetasi yang sampai saat ini masih saya kagumi, oia teman saya berkata ‘teman, kamu sudah menyebut statement yang sama dari hari kemarin’, ya itu semata-mata karena kekaguman saya bertemu dengan deretan vegetasi yang sudah saya ceritakan sebelumnya, dan nanti akan saya ceritakan kenapa saya sangat mengaguminya, saya sampai di kota itu tetap dengan kuda besi yang siap sedia mengantar saya, kami lebih tepatnya.
Kali ini kami mencoba hal baru, berbekal ketidaktahuan dan sedikit bertanya, akhirnya kami sampai juga, setelah sebelumnya kami bertemu teman lama yang membuktikan bahwa dunia ini memang selebar daun kelor, piker saya.
Tepat di depannya kami turun, berjalan beberapa langkah, dan kembali bertemu dengan pintu besi yang bagi saya kali ini seakan menyentuh langit, terlalu berlebihan mungkin tapi itu yang saya rasakan saat itu.
Pintu terbuka dan AHA, waktu itu telah datang. Seperti yang sudah saya katakana, olahraga, ya itu tujuan kami. Ditemani teman-teman special kami, berolahragalah kami jadinya.
----------
Tak sanggup mendengar dan melihat rintihan sang bola yang kami pukul, lempar, dan sesekali kami tending, kami memutuskan berhenti, atau lebih tepatnya saya yang meminta berhenti. Tidak adil memang, tapi saya menginginkan dan berkuasa untuk menghentikannya.
adil, kemudian kata-kata itu merajai pikiran saya.
Tiba-tiba iba menyergap saya dari lamunan. Hari ini dan olahraga ini adalah hiburan mereka, teman-teman saya, dan saya tiba-tiba menginginkannya untuk berhenti? Adilkah saya?
Adilkah mereka di sini, saat ini dan sekarang. Kemudian saya terbayang 10 tahun yang akan datang tentang mereka, akan seperti apakah mereka?
Atas nama keadilan mereka menemani jeruji-jeruji besi tua itu samapi usia mereka 18, kemudian apakah atas nama keadilan, adilkah untuk mereka setelah sisa waktu itu?
Tak henti-hentinya saya berpikir, sebenarnya adakah keadilan bagi mereka yang atas nama kebenaran dan keadilan mereka harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat yang akan sering saya datangi ini?
Dan saya jadi bingung –kata favorit saya ketika kehabisan kata-kata-
Bergunakah kemudian tempat ini? Tidak adakah tempat yang lebih layak untuk mengajari mereka kebenaran, kebaikan dan keadilan?
Kemudian saya teringat kata Roger dan Bandura, yang menurut teman-teman saya di tempat lain adalah tokoh psikologi, bahwa manusia sebenarnya memiliki potensi yang positif untuk berkembang, namun tetap ada juga pengaruh lingkungan dalam mengembangkan potensi tersebut. Dan apakah layak kemudian teman-teman special saya hidup dan berkembang di tempat itu?
Dan saya bingung untuk kedua kalinya.
Saya piker masih ada tempat lain yang lebih layak untuk mereka, tapi di mana? Pertanyaan besar yang memenuhi pikiran saya, sampai kuda besi yang membawa kami, saya dan teman saya kembali merayapi jajaran besi lurus panjang yang entah kapan besi itu akan bertahan (pertanyaan lagi muncul darimu, besi tua)
--------
Denting itu terdengar dan sekali lagi surat kecil pengantar perjalanan berhamburan, dan kali ini ditambah kepala saya yang penuh pertanyaan. Akankah pertanyaan itu akan terjawab?

Lapas Anak Kutoarjo

0 komentar:

Posting Komentar

Kutoarjo (2)

Saya ingin berbagi cerita tentang perjalanan kedua saya mengunjungi teman-teman kecil saya di suatu tempat yang bagi saya juga sangat special. Ya, hari ini saya dan lagi-lagi dengan teman saya, yang kali ini kami hanya berdua kembali menempuh melewati sepasang jajaran besi panjang untuk sekadar berolahraga.
Awalnya tidak ada pikiran khususnya menempuh perjalanan panjang hanya untuk berolahraga, tapi memang begitu kenyataannya.
Setelah kembali saya ditemani surat kecil pengantar kami pergi yang nantinya akan berhamburan di tempat kami tuju dan deretan vegetasi yang sampai saat ini masih saya kagumi, oia teman saya berkata ‘teman, kamu sudah menyebut statement yang sama dari hari kemarin’, ya itu semata-mata karena kekaguman saya bertemu dengan deretan vegetasi yang sudah saya ceritakan sebelumnya, dan nanti akan saya ceritakan kenapa saya sangat mengaguminya, saya sampai di kota itu tetap dengan kuda besi yang siap sedia mengantar saya, kami lebih tepatnya.
Kali ini kami mencoba hal baru, berbekal ketidaktahuan dan sedikit bertanya, akhirnya kami sampai juga, setelah sebelumnya kami bertemu teman lama yang membuktikan bahwa dunia ini memang selebar daun kelor, piker saya.
Tepat di depannya kami turun, berjalan beberapa langkah, dan kembali bertemu dengan pintu besi yang bagi saya kali ini seakan menyentuh langit, terlalu berlebihan mungkin tapi itu yang saya rasakan saat itu.
Pintu terbuka dan AHA, waktu itu telah datang. Seperti yang sudah saya katakana, olahraga, ya itu tujuan kami. Ditemani teman-teman special kami, berolahragalah kami jadinya.
----------
Tak sanggup mendengar dan melihat rintihan sang bola yang kami pukul, lempar, dan sesekali kami tending, kami memutuskan berhenti, atau lebih tepatnya saya yang meminta berhenti. Tidak adil memang, tapi saya menginginkan dan berkuasa untuk menghentikannya.
adil, kemudian kata-kata itu merajai pikiran saya.
Tiba-tiba iba menyergap saya dari lamunan. Hari ini dan olahraga ini adalah hiburan mereka, teman-teman saya, dan saya tiba-tiba menginginkannya untuk berhenti? Adilkah saya?
Adilkah mereka di sini, saat ini dan sekarang. Kemudian saya terbayang 10 tahun yang akan datang tentang mereka, akan seperti apakah mereka?
Atas nama keadilan mereka menemani jeruji-jeruji besi tua itu samapi usia mereka 18, kemudian apakah atas nama keadilan, adilkah untuk mereka setelah sisa waktu itu?
Tak henti-hentinya saya berpikir, sebenarnya adakah keadilan bagi mereka yang atas nama kebenaran dan keadilan mereka harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat yang akan sering saya datangi ini?
Dan saya jadi bingung –kata favorit saya ketika kehabisan kata-kata-
Bergunakah kemudian tempat ini? Tidak adakah tempat yang lebih layak untuk mengajari mereka kebenaran, kebaikan dan keadilan?
Kemudian saya teringat kata Roger dan Bandura, yang menurut teman-teman saya di tempat lain adalah tokoh psikologi, bahwa manusia sebenarnya memiliki potensi yang positif untuk berkembang, namun tetap ada juga pengaruh lingkungan dalam mengembangkan potensi tersebut. Dan apakah layak kemudian teman-teman special saya hidup dan berkembang di tempat itu?
Dan saya bingung untuk kedua kalinya.
Saya piker masih ada tempat lain yang lebih layak untuk mereka, tapi di mana? Pertanyaan besar yang memenuhi pikiran saya, sampai kuda besi yang membawa kami, saya dan teman saya kembali merayapi jajaran besi lurus panjang yang entah kapan besi itu akan bertahan (pertanyaan lagi muncul darimu, besi tua)
--------
Denting itu terdengar dan sekali lagi surat kecil pengantar perjalanan berhamburan, dan kali ini ditambah kepala saya yang penuh pertanyaan. Akankah pertanyaan itu akan terjawab?

Lapas Anak Kutoarjo

0 komentar:

Posting Komentar

Daisypath Anniversary tickers

Feed my Fish!